Hak & Tanggungjawab

Kesempurnaan agama islam meliputi segala aspek kehidupan seorang manusia, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Hal ini cukup jelas sebagaimana disampaikan sahabat yang mulia Salman Al Farisiy radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya seorang yahudi:


قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ



Beliau ditanya: “Apakah benar Nabi kalian telah mengajari kalian segala sesuatu sampai masalah buang hajat? Beliau menjawab: “Ya”. Diriwayat Imam Muslim dalam shahihnya kitab Aththahaarah, Bab Al Istithabah No. 380


Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kaum muslimin segala sesuatu yang berguna dan mendekatkan diri mereka kepada syurga dan memperingatkan mereka dari semua perkara yang mendekatkan mereka ke neraka, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :


إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ



Sungguh tidak ada seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menyampaikan kepada umatnya kebaikan yang diketahuinya kepada mereka dan memperingati mereka dari kejelekan yang diketahuinya untuk mereka.Diriwayat Imam Muslim dalam Shohihnya, Kitab Alimaroh, Bab wajubul wafa’ bibai’atil kholifah al awal fal awal no. 3431.

Permasalahan wali amr atau penguasa atau pemerintah merupakan salah satu perkara penting yang telah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata: “Wajib diketahui bahwa kepemimpinan negara merupakan salah satu kewajiban agama yang agung, bahkan agama tidak dapat ditegakkan kecuali dengannya. Hal ini karena tidak sempurna kemaslahatan bani adam kecuali dengan berkumpul karena sebagian mereka membutuhkan sebagian yang lainnya. Dalam perkumpulan ini mesti harus ada pemimpinnya” .(Lihat As Siyaasah Asy Syar’iyah Fi Ishlahi Arro’iya wal Ra’iyah, karya Syeikhul Islam ibnu Taimiyah, Tahqiiq Abu Abdillah Ali Muhammad Al Maghribiy, darul Arqom, Kuwait hal.217).
Tentunya penguasa atau pemerintah islam ini memiliki kewajiban dan hak-hak yang harus diketahui mereka dan rakyatnya agar terjadi keseimbangan interaksi diantara mereka. Hendaknya setiap dari mereka bertakwa kepada Allah dan melaksanakan tugas kewajiban masing-masing agar terwujud masyarakat dan negara yang baik.


Hubungan Antara Pemerintah Dan Rakyat:

Hubungan pemerintah dengan rakyat dan sebaliknya sangat diperhatikan dalam agama Islam, karena ada padanya kemashlahatan besar bagi manusia dalam kehidupan dunia dan akheratnya. Oleh karena itu Syeikh Muhammad bin Abdillah bin Subail menyatakan: “Sesungguhnya para wali amr (penguasa atau pemerintah) memiliki hak-hak yang agama islam wajibkan kepada rakyatnya, bahkan menegaskan perhatiannya terhadap hal ini dan pelaksanaannya. Hal ini karena kemaslahatan umat dan masyarakat tidak terwujudkan dengan sempurna dan teratur kecuali dengan kerja sama antara pemerintah dan rakyatnya dan dengan melaksanakan seluruh kewajiban yang diwajibkan atas mereka serta menunaikan amanah dan tanggung jawabnya” .(Dinukil dari Fiqhu Al Siyasah As Syari’ah Fi Dhu’il Qur’an Was Sunnah Wa Aqwal Salaful umat, karya Kholid bin Ali Al ‘Ambariy, Riyadh hal 207. lihat Al Adilah Asy Syar’iyah Fi Bayaani Haqi ra’iy war ra’iyah, karya Syaikh Muhammad bin Abdillah bin Subail, darus Salaf, Riyadh, KSA, hal 24).

Namun hendaknya hubungan ini berjalan diatas dasar Al Qur’an dan Sunnah serta tidak keluar dari contoh amalan para salaful umat; para sahabat dan orang yang setelah mereka.


A. Hubungan Pemerintah dengan Rakyat

Hendaknya seorang penguasa (pemerintah) memperhatikan dengan baik keadaan dan kondisi rakyatnya dan mengerahkan segala kemampuannya untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat baik maslahat dunia atau agama serta memberikan rahmat dan kecintaan kepada mereka.
Dalam kaitan ini Kholifah Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Masukkan kedalam hatimu sifat rahmat, cinta dan lemah lembut kepada rakyat, janganlah kamu menjadi singa yang ganas (kejam) yang siap memakan mereka dan mencari-cari kesalahan mereka. Sebab mereka itu adalah saudara seagama dan teman kamu sesama makhluk yang mesti memiliki ketergekinciran dan kelemahan. Maka berilah mereka ampunan dan maaf seperti yang kamu inginkan dari mereka, karena kamu diatas mereka dan kholifah diatas kamu dan Allah diatas segala-galanya”.(Lihat Nadzoraat Ta’shiliyah Aqdiyah, Fiqhiyah wa Ushuliyah, ‘Ilmiyah wa Ijtima’iyah, karya DR. Sulaimaan bin Abdillah Aba Al Khoil, cetakan pertama tahun 1424/2003 M, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA. Hal 27-28).
Hubungan ini hendaklah diperkokoh dengan adanya upaya penguasa atau pemerintah untuk bercampur dan bergaul langsung dengan rakyat serta mengunjungi mereka untuk mencari tahu kebutuhan dan keadaan mereka, sebagaimana yang telah dilakukan Khalifah Umar bin Al Khathab radhiyallahu ‘anhuketika beliau tidak tidur sebelum mengelilingi kota untuk mencari orang-orang yang membutuhkan bantuan dan perhatiannya.
(Lihat Nadzoraat Ta’shiliyah Aqdiyah, Fiqhiyah wa Ushuliyah, ‘Ilmiyah wa Ijtima’iyah, karya DR. Sulaimaan bin Abdillah Aba Al Khoil, cetakan pertama tahun 1424/2003 M, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA. Hal 27-28).


Kewajiban Pemerintah dan Hak Rakyat :

Kekuasaan dan kepemimpinan adalah amanat yang sangat berat, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kepada Abu dzar Al Ghifaariy radhiyallahu ‘anhu:


يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا



Wahai Abu Dzar seseungguhnya kamu seorang yang lemah, sedangkan ia (kepemimpinan/kekuasaan) adalah amanah dan dihari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan kewajibannya.

Diriwayatkan Imam Muslim dalam shohihnya, kitab Al Imaarah, Bab Karahatul Imaarah Bighairi Dharurah, No. 3404.
Memang kekuasaan adalah amanat yang tidak mempu menunaikannya dengan baik kecuali orang yang memang mampu memanggulnya, oleh karena itu perlu sekali diketahui kewajiban penguasa dan hak rakyatnya dengan harapan mereka (pemerintah) dapat menunaikan amanah ini dengan benar dan baik.

Diantara kewajiban terpenting pemerintah adalah :

1. Kewajiban pokok.

Kewajiban pokok dan asas pemerintah yang sesuai dengan Syari’at Islam adalah berusaha merealisasikan tujuan diadakannya imamah (kepemimpinan) yaitu sebagai Imamatu Addin wa Siyaasaatu Addunya (pemimpin agama dan pengatur dunia).


Tujuan pertama: Menegakkan agama atau menegakkan syari’at, ini meliputi penjagaan dan pelaksanaannya.Menjaga agama dapat dilihat dari hal berikut:

- menyebarkan dan mendakwahkannya dengan tulisan, lisan dan pedang (senjata)
- menjawab dan memerangi syubhat dan kebatilan
- menjaga pertahanan dan keamanan nagara dan rakyat sehingga kaum muslimin mendapatkan rasa aman atas agama, jiwa,harta dan kehormatannya.


Sedangkan pelaksanaannya meliputi:

- penegakan syariat dan hukuman-hukuman pidana (hudud) serta pelaksanaan hukum-hukum syariat lainnya yang meliputi pengambilan zakat, pembagian harta rampasan perang, pengaturan ketentaraan yang berjihad untuk menegakkan panji Islam, mengangkat para qadhi (hakim) syar’I uantuk menghukum manusia dengan hukum Islam, melaksanakan penerapan hukum dan hudud yang telah disyariatkan Allah kepada hambaNya.
- Membawa manusia patuh pada hal diatas dengan ancaman (tarhiib) dan targhib (motivasi).
Tujuan kedua: Mengatur dunia dengan dasar agama dengan kata lain berhukum dengan hukum islam dalam seluruh aspek kehidupannya

2. Kewajiban pendukung.

Pemerintah juga memiliki kewajiban yang menjadi sarana dalam mewujudkan tujuan-tujuan diatas, diantaranya:
- Menunaikan hak-hak harta ke baitul mal
- Memberikan perhatian kepada orang-orang yang mendasari segala perbuatannya dengan manhaj salaf dan tidak pernah memprovokasikan, menyebarkan perselisihan dan perpecahan.
- Mengawasi pengaturan seluruh kegiatan negara dan mencari tahu keadaan rakyatnya
- Lemah lembuh dan menasehati rakyatnya
- Menjadi contoh teladan yang baik bagi rakyatnya.
(Diambil secara ringkas dari Nadzaarat Ta’shiliyah hal 31-33).


B. Hubungan Rakyat terhadap Pemerintah :

Demikian juga hubungan rakyat kepada pemimpin atau pemerintah merupakan perkara penting untuk mewujudkan tujuan kepemimpinan islam. Oleh karena itu hendaknya setiap rakyat menerapkan ajaran Al Qur’an dan Sunnah dalam hubungan dengan pemerintah.


Kewajiban Rakyat dan Hak pemerintah :

Sebagaimana pemerintah memeiliki kewajiban dan rakyat memiliki hak, maka rakyatpun memiliki kewajiban dan pemerintahpun memiliki hak-hak yang harus dipenuhi rakyatnya. Diantaranya:
1. Ikhlas dalam menasehati dan mendo’akannya
Awal hak penguasa atas rakyatnya adalah ikhlas, nasehat dan mendo’akan kebaikan kepada mereka, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan dalam hadits Tamim Ad Daariradhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ



Sesungguhnya Allah meridhoi tiga perkara pada kalian: menyembahnya dan tidak menyekutukannya, berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak berpecah belah dan menasehati orang yang Allah jadikan penguasa kalian.

Hadits ini ringkasan dari hadits yang diriwayatkan imam Muslim dalam Shohihnya kitab Al Aqdhiyah, bab An Nahyi ‘an katsrotil Masaail min ghoiri hajah, no.3236 tanpa lafadzوَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْdan Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya no.8444.
Nasihat kepada para pemimpin dan penguasa, merupakan suatu kewajiban, dikarenakan mereka pasti berbuat kekurangan, tidak maksum dari ketergelinciran dan kesalahan. Pemimpin kaum muslimin ini terkadang dari kalangan para ulama ataupun penguasa.
(lihat Nadzaraat Ta’shiliyah hal 29).
Nasihat kepada para ulama dilakukan dengan menyebarkan ilmu dan keutamannya. Berbaik sangka kepada mereka dan menghormatinya. Adapun kepada para penguasa, dapat dilakukan dengan beberapa hal berikut ini :


- Membantu dan mentaati mereka dalam kebenaran.

- Menyadarkannya ketika lalai dengan cara lemah lembut.
- Merapatkan kekuatan dan persatuan dengan mereka.
- Menahan mereka dari berbuat kedzaliman dengan cara yang baik.


Ibnu Shalaah rahimahullah berkata, “Nasihat kepada para penguasa dilakukan dengan membantu dan mentaatinya dalam kebenaran. Menegur dan menyadarkannya dengan lemah lembut dan halus. Tidak melakukan penyerangan kepadanya dan hendaklah mendoakannya untuk mendapatkan taufiq Allah serta mengajak orang membantu mereka.”

(Lihat Iqadzul Himam hal.128)


Demikian juga Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan makna nasihat kepada para penguasa dengan menyatakan, “Membantu tugas kewajiban yang dibebankannya. Menegurnya ketika lalai, menyatukan kekuatan dan hati rakyat di bawah (kepemimpinan) mereka. Dan yang lebih besar lagi ialah mencegah mereka dari berbuat dzalim dengan cara yang baik.”

(Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari karya Imam Al Haafidz Ibnu Hajar rahimahullah , maktabah Salafiyah, Mesir. 1/136).


Imam Syaukani rahimahullah memberikan nasehat kepada kita seputar nasehat kepada wali amr dalam pernyataan beliau: “Namun sudah seharusnya orang yang melihat kesalahan imam pada sebagian perkara untuk menasehatinya dan tidak menampakkan celaan dikhalayak ramai, bahkan seharusnya berbuat seperti yang dijelaskan dalam hadits yaitu untuk mengajaknya dan berduaan lalu memberikan nasehat kepadanya. Janganlah merendahkan sulton Allah (penguasa).”

(Lihat: As Sail Al Jaraar Al Mutadaffiq ‘Alaa Hadaa’iq Al Azhaar, karya Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Tahqiq Mahmud Ibrohim Zaid, darul Kutub Ilmiyah, Baerut 4/446)

Hal ini juga dijelaskan Syeikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’diy rahimahullah dalam pernyataan beliau: “Adapun nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin, mereka adalah para wali amr yang meliputi pemerintah pusat sampai amir, Qadhi (hakim) dan sampai orang yang memiliki kekuasaan pada mereka baik besar atau kecil. Ketika mereka ini memiliki tugas dan kewajiban yang lebih besar dari selain mereka, maka wajib memberikan nasehat kepada mereka sesuai martabat dan kedudukannya. Hal ini dapat diwujudkan dengan meyakini keimamahan mereka, mengakui kekuasaannya, kewajiban mentaatinya dalam perkara yang baik dan tidak memberontak, mengajak rakyat untuk mentaatinya dan mematuhi perintah mereka yang tidak menyelisihi perintah Allah dan RasulNya. Juga memberikan nasehat semampunya dan menjelaskan perkara yang mereka belum tahu dari perkara yang mereka butuhkan dalam mengatur rakyatnya –hal ini dilakukan sesuai keadaan- serta mendoakan mereka kebaikan dan taufiq, karena baiknya mereka adalah kebaikan bagi rakyatnya. Demikian juga tidak mencela dan mencaci mereka serta menyebarkan aib dan cela mereka, karena hal ini menimbulkan keburukan, kerugian dan kerusakan yang besar.

Diantara nasehat kepada penguasa juga adalah berhati-hati dan memberi peringatan terhadap hal-hal diatas. Sudah menjadi kewajiban orang yan gmelihat kesalahan mereka untuk menasehatinya dengan cara tersembunyi, tidak terbuka (dihalayak ramai) dengan lemah lembut dan ungkapan yang pas dengan kedudukan mereka namun dapat mencapai maksud yang diinginkan. Karena ini yang seharusnya dilakukan pada setiap orang dan khususnya para penguasa, sebab mengingatkan mereka dengan cara seperti ini dapat menimbulkan kebaikan yang banyak dan menjadi tanda kejujuran dan keikhlasan”.


(Lihat: Ar Riyaadh Al Nadhiroh Wal Hadaaiq Al Niyaroh Al Zaahiroh Fi Al ‘Aqoid wa Al funun Al Mutanawwi’ah Al fakhiroh, karya Syeikh Abdurrohman bin Naashir As Sa’diy, Muassasah As Sa’diyah, Riyadh, KSA hal 49-50)

Adapun mendoakan kebaikan untuk para penguasa termasuk amalan taqarrub yang agung dan ketatan yang paling utama serta termasuk nasehat kepada Allah dan hambaNya.(sebagaimana dinyatakan Syeikh Bin Baaz rahimahullah (Mufti agung KSA yang lama) dalam Tanya jawab yang dimuat dalam Al Ma’lum Min Waajib Al ‘Alaqah Baina Al Haakim wa Al Mahkuum, disusun oleh Abu Abdillah bin Ibrohim Al Bulaithiih Al Waabiliy hal 21).
Mendoakan kebaikan untuk pemerintah merupakan salah satu pokok aqidah ahlu sunnah wal jamaah sebagaimana di sampaikan Imam At Thahawiy rahimahullah dalam Aqidahnya: “Kita mendoakan untuk mereka (penguasa) kebaikan dan keselamatan”.
(Lihat Syarh Al Aqidah Al Thohawiyah karya Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil Izz , tahqiiq Abdullah bin Abdilmuhsin At Turkiy dan Syu’aib Al Arnaauth, cetakan kedua tahun 1423-1993 M, Muassasah Ar Risalah, Bairut, hal 540).
Sehingga Al Fudhail bin Iyaadh rahimahullah berkata: “Seandainya kami memiliki satu doa yang mustajab, tentulah kami akan mendoakan penguasa dengannya” juga menyatakan dalam penukilan yang lain: “Seandainya aku mendapatkan hak di Baitulmal, tentu aku akan mengambi yang halalnya dan aku buatkan dengan harta itu makanan yang paling baik. Lalu akau undang orang-orang sholih dan yang memiliki keutamaan dari orang pilihan dan orang baik. Ketika mereka selesai maka akau katakana: ‘marilah kita berdoa kepada rabb kita agar memberikan taufiq kepada raja kita dan seluruh orang yang memimpin perkara kita”.
(Lihat: Fiqhu Al Siyasah As Syari’ah karya Al Anbariy hal 210 menukil dari kitab Siroojul Muluuk karya Abu Bakr Al ThurThusiy hal 100).
Bahkan Imam Al Barbahariy rahimahullah menjadikan perkara ini sebagai alamat ahlus sunnah dalam pernyataan beliau: “Jika kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan untuk penguasa, maka ketahuilah ia adalah pengikut hawa nafsu (shohibul hawa) dan jiak kamu melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah ia shohibus sunnah (pengikut sunnah)-Insya Allah-”.

Al Fudhail bin Iyaadh rahimahullah berkata: “Seandainya kami memiliki satu doa, kami hanya memperuntukkan penguasa’. Karena kita diperintahkan untuk mendoakan penguasa mendapat kebaikan dan tidak diperintahklan mendoakan kejelekan pada mereka, walaupun mereka berbuat jahat dan dzolim. Sebab kejahatan dan kedzoliman mereka berakibat pada diri mereka dan kaum muslimin dan kebaikan mereka untuk diri mereka dan kaum muslimin jua”.
(Lihat Wujubu Tha’atus Sulthoon Fi Ghairi Makshiyatirrahman biddalil Assunnah wal Qur’an, karya Muhammad bin Naashir Al ‘Urainiy, cetakan pertama 1415 H, Qashiim, KSA. Hal 21-22 dan Fiqhu Al Siyasah As Syari’ah karya Al Anbariy hal 210, keduanya menukil dari Thobaqaat Al hanaabilah karya Ibnu Abi Ya’laa 2/36).


2. Menghormati dan memuliakannya serta tidak menghinakannya.
Menghormati dan memuliakan wali amri baik penguasa atau ulama merupakan satu kewajiban dalam Islam. Sedangkan mencela dan melecehkan serta merendahkan kedudukan mereka terlarang. Semua ini untuk menumbuhkan perasaan segan dan takut dalam diri rakyat agar mereka tidak berbuat kerusakan, keburukan, permusuhan dan pembangkangan. Untuk itulah Imam Ibnu Jumaah rahimahullah menjelaskan hak para penguasa dalam pernyataan beliau: “Hak yang keempat: mengetahui kedudukan mereka dan kewajiban meninggikan kedudukannya, sehingga diperlakukan sesuai dengan kewajiban tersebut berupa penghormatan dan pemuliaan serta keagungan yang telah Allah berikan kepada mereka. Oleh karena itu para ulama besar dari kalangan par imam islam mengagungkan kehormatan mereka dan memenuhi panggilan mereka dengan sikap zuhud, wara’ dan tidak tamak terhadap milik para penguasa tersebut”.
(Lihat Fiqhu Al Siyasah As Syari’ah karya Al Anbariy hal 211 dan Nadzaarat Ta’shiliyah karya Abal Khoil hal 30 menukil dari Tahriirul Ahkaam fi tadbiir Ahlil Islam karya Ibnu jumaah, tahqiiq Fuad Abdulmun’im, Dar Ats Tsaqaafah hal 63).
Demikian juga Sahl bin Abdillah At Tusturi rahimahullah menyatakan: “Manusia selalu dalam kebaikan selama memuliakan pemguasa dan ulama. Jika mereka mengagungkan keduanya niscaya Allah akan memperbaiki dunia dan akheratnya mereka dan jika mereka merendahkan (melecehkan) keduanya maka Allah akan menghancurkan dunia dan akherat mereka”.
(Lihat Muamalatul Hukkaam Fi Dhu’I Al Kitab Was Sunnah karya Abdussalaam bin Barjas, cetakan ketiga tahun 1415 H. hal 32 menukil dari Tafsir Al Qurthubiy 5/260-261).
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barang siapa memuliakan sulton Allah (penguasa) didunia maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat dan barang siapa yang menghinakan sultan Allah didunia maka Allah hinakan pada hari kiamat.

(Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 5/42, At Tirmidziy dalam sunannya kitab Al Fitaan ‘An Rasulullah bab Ma Jaa fil Khulafa’ No.3150. lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shohihah karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albaniy 5/376).
Imam Thawuus rahimahullah seorang tabiin berkata: “Empat orang yang dihormati menurut sunnah Rasul yaitu ulama, orang yang berusia lanjut, sulton (penguasa) dan orang tua”.
(Lihat Fiqhu Al Siyasah As Syari’ah karya Al Anbariy hal 212 menukil dari Syarhu Sunnah karya Al Baghowiy 13/41).
Sungguh tepat pernyataan Syeikh Mahmud bin Isma’il Al Hairabatiy : “Wajib kewibawaan (penguasa) ada sehingga bila rakyatnya melihatnya atau mereka berada jauh darinya, mereka takut (berbuat macam-macam). Penguasa zaman sekarang ini wajib memiliki lebih lengkap dalam bersiasah (politik) dan lebih berwibawa, karena manusia zaman sekarang tidak sama seperti orang terdahulu, karena zaman kita ini zamannya orang bodoh dan celaka. Jika sulton (penguasa) diantara mereka lemah atau tidak memiliki kecakapan dalam siasah (politik) dan kewibawaan, maka pasti menjadi sebab kehancuran negara dan kerusakan akan menimpa agama dan dunia. (Demikian juga menyebabkan) penguasa tidak dianggap apa-apa dan mereka tidak mendengar perkataannya dan tidak pula mematuhi perintahnya serta seluiruh makhluk membencinya”.
(Lihat Fiqhu Al Siyasah As Syari’ah karya Al Anbariy hal 212 menukil dari pernyataannya dalam kitab Addurah Al Ghorra’ Fi Nashehati As Salaathin wal Qudhah wal Umara’ karya Muhammad bin Isma’il hal 223-224).
Syeikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah menyampaikan pernyataan seputar permasalahan ini: “Alangkah indahnya pemahaman manhaj salaf shalih dalam bermu’amalah dengan penguasa. Yaitu dengan tidak menjadikan kesalahan penguasa sebagai jalan membangkitkan amarah manusia dan sampai menjauhkan hati mereka dari para wali umur, sebab ini adalah kerusakan dan salah satu dasar terjadinya fitnah diantara manusia. Sebagaimana memenuhi hati (dengan kebencian) terhadap wali umur (penguasa) mengakibatkan kejelekan, fitnah dan kekacauan, demikian juga memenuhi hati (dengan kebencian) terhadap ulama mengakibatkan pelecehan kedudukan ulama dan setelah itu melecehkan ketinggian syariat yang mereka emban. Jika seseorang berusaha merendahkan kewibawaan ulama dan penguasa maka lenyaplah syariat dan keamanan. Hal ini terjadi karena bila ulama berbicara maka manusia tidak memepercayai ucapan mereka dan jika penguasa berbicara mereka langgar lalu terjadilah keburukan dan kerusakan”.
(Lihat Muamalatul Hukkam hal 32-33 dan Nubdzah Mufidah ‘An Huquuq Wulati Al Amr karya DR. Abdulaziz bin Ibrohim Al’Askar cetakan kedua tahun 1417/1996 M hal 15-16).

3. Mematuhi dan mentaatinya pada perkara yang bukan maksiat.
Diantara hak pemerintah adalah dipatuhi dan ditaati dalam semua perintah atau larangannya kecuali dalam kemaksiatan. Ini termasuk hak terpenting dan terbesar pemerintah atas rakyatnya dan menjadi kewajiban paling besar bagi rakyat terhadap pemerintahnya.
Mematuhi dan mentaati pemerintah dalam perkara yang tidak maksiat merupakan satu kewajiban yang disepakati ahlus sunnah wal jamaah dan menjadi salah satu pokok yang membedakannya dari ahlil bidah.
(Lihat Muamalatul Hukkam hal 75)

Hal ini didasari dengan firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. 4:59)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban mematuhi dan mentaati wali umur (pemerintah). Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits yang shohih berlaku pada selain kemaksiatan, diantaranya:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Mendengar (mematuhi) dan mentaati adalah satu kewajiban selama tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Maka jika diperintah kepada kemaksiatan tidak ada (kewajiban) mendengar dan mentaatinya.
Diriwayatkan imam Al Bukhori dalam shohihnya kitab Al Jihad was Siyar bab As Sam’ wa Thoat lil imaam Ma lam Takun makshiyatan no. 2738

Dalam lafadz Muslim dan Ibnu majah:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Seorang muslim wajib mendengar dan mentatai (penguasa) dalam apa yang sesuai dengannya dan tidak ia sukai (tidak sesuai dengannya) kecuali jika diperintah bermaksiat. Maka jika diperintah bermaksiat tidak ada kepatuhan dan tidak ada juga ketaatan. Diriwayatkan imam Al Bukhori dalam shohihnya kitab Al Jihad was Siyar bab As Sam’ wa Thoat lil imaam Ma lam Takun makshiyatan no. 2738.

Syeikh Abdirrohman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah berkata: “Kemudian Allah perintahkan untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya. Ini dengan melaksanakan seluruh perintah kedunya berupa kewajiban dan sunnah, dan menjauhi segala larangannya. Juga Allah memerinthkan kita untuk mentaati ulul amri, mereka adalah pemimpin manusia dari kalangan penguasa, pemerintah dan ulama pemberi fatwa. Sebab tidak istiqomah perkara agama dan dunia manusia keculai dengan mentaati dan tunduk patuh kepada mereka sebagai ketatan kepada Allah dan mengharap pahala dariNya. Namun dengan syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika mereka memerintahkan demikian, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah yang maha pencipta”. (lihat :Taisir Karimir rahmaan karya Syeikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy, Tahqiq Abdurrahman bin Mu’allaa Al Luwaihiq, cetakan pertama tahun 1421/2000 M, Muassasat Ar Risaalah, hal 183-184).

Dalam ayat diatas Allah mewajibkan kita mentaati wali umur dan tidak mengecualikannya kecuali pada kemaksiatan, sehingga selain kemaksiatan kita masih diwajibkan mentaatinya. (lihat Nadzaraat Ta’shiliyah hal 29).
Oleh karena itu Al Mubarakfuri rahimahullah menyatakan: “Terdapat dalam hadits, penjelasan bahwa jika imam memerintahkan perkara sunnah atau mubah maka wajib ditaati”. (Dari Nubdzah Mufidah hal 17 menukil dari Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At Tirmidziy 5/365).
Ketaatan ini tetap ada walaupun pemerintah atau penguasa berbuat jahat dan dzolim atau tidak menunaikan hak rakyatnya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Salamah bin Yazid Al Ju’fiy bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata:“Bagaimana pendapat engkau jika penguasa yang memerintahkan kami menuntut haknya dan tidak menunaikan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Lalu Rasulullah berpaling darinya, kemudian salamah bertanya lagi kedua kali atau ketiga kalinya. Lalu Al Asy’ats bin Qais dan berkata: patuhi dan taatilah, karena mereka akan menanggung tanggung jawabnya dan kalian menanggung tanggung jawab kalian.”Dalam lafadz Muslim yang lainnnya:

فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُم

Lalu Al Asy’ats bin Qais menariknya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: patuhi dan taatilah, karena mereka akan menanggung tanggung jawabnya dan kalian menanggung tanggung jawab kalian.
Diriwayatkan Imam Muslim dalam shohihnya kitab Al Imaaroh bab Fi thaatul al Umara’ wa In Mana’u Huquuq, no.3433.
Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

عَنْ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَان قَالَِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Dari Huzaifah bin Al Yamaan, beliau berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami dulu berada dalam keburukan, lalu Allah mendatangkan satu kebaikan dan kami berada padanya. Apakah ada keburukan dibelakang kebaikan ini? Beliau menjawab: Ya, ada. Aku bertanya: apakah ada kebaikan dibelakang keburukan tersebut? Beliau menjawwab: ya. Lalu aku bertanya lagi: Apakah ada keburukan dibelakang kebaikan ini?beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Bagaimana? Dan beliaupu nmenjawab: “Akan ada setelah ku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mencontoh teladanku. Lalu akan muncul pada mereka para tokoh berhati syeitan dalam bentuk manusia”. Huzaifah berkata: Aku bertanya: “bagaimana aku berbuat wahai Rasululloh jika menjumpainya? Lalu ia berkata: patuhi dan taati pemimpin, walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, maka patuhlah dan taatlah!.

Diriwayatkan Imam Muslim dalam shohihnya kitab Al Imaaroh bab wujubu Mulazamatu jamaatul muslimin ‘inda dzuhuril Fitan, no.3435.

Hadits yang mulia ini menjelaskan perintah Allah untuk mentaati wali umur walaupun mereka menyiksa kita dan merampas harta kita. Janganlah hal tersebut membawa kita tidak taat dan patuh kepada mereka, karena kejahatan tersebut tanggung jawab mereka dan akan mereka dapati perhitungannya dihari kiamat nanti.

Hal ini semua menampakkan keindahan ajaran Islam dan kelengkapannya.


4. Membela dan menolongnya
Diantara hak penguasa adalah dibela dan dibantu dalam merealisasikan tugas kewajiban mereka. Imam Ibnu Jumaah rahimahullah menjelaskan hal ini dalam pernyataan beliau: “Hak yang ketiga: membela mereka secara lahir dan batin dengan mengerahkan segala kemampuan untuk itu, karena ada padanya pembelaan terhadap kaum muslimin dan menghentikan gangguan orang jahat” dan beliau menyatakan pula: “hak yang kedelapan: menolong meringankan beban yang diemban mereka berupa perwujudan kemaslahatan umat dan membantu mewujudkannya dengan segenap kemampuan, Allah berfirman:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa (QS. 5:2)
(lihat Nadzaaraat Ta’shiliyah hal 30).


Menolong dan membela pemerintah dapat diwujudkan dalam beberapa hal berikut ini:
1. Wajib bagi kaum muslimin untuk saling tolong menolong (kerja sama) dengan pemerintah dalam seluruh perkara yang dapat mewujudkan kemajuan dan kebaikan serta perkembangan dalam semua bidang luar negeri dengan jihad harta dan jiwa dan kedalam negeri dengan menambah kemakmuran, realisasi kemajuan industri, pertanian, perbaikan moral dan kemasyarakatan serta membangun masyarakat yang baik. Berikut juga pelaksanaan undang-undang dan hukum syariat dan amar makruf nahi mungkar , baik yang berhubungan dengan kemaslahatan umum atau khusus. Juga memberikan nasehat dan usul serta informasi baru yang dapat memberikan kemajuan dan menuntun serta mengarahkan manusia dalam keadaan damai atau perang.
(Lihat Al Fiqh Al Islaamiy wa Adilatuhu karya DR. Wahbah Az Zuhailiy 5/710).

2. Rakyat wajib membela pemerintah dalam kebenaran, walaupun mereka tidak menunaikan hak-hak rakyatnya, karena membela mereka merupakan pembelaan terhadap agama dan pengokohan kaum muslimin, apalagi bila adal sekelompok pembangkang yang ingin memberontak atau keluar dari ketaatannya. Hal ini diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

Siapa yang mendatangi kalian dalam keadan perkara kalian berada dalam satu pimpinan, lalu ia hendak mematahkan tongkat (persatuan kalian) atau memecah belah jamaah kalian maka bunuhlah ia.
Diriwayatkan Imam Muslim dalam shohihnya kitab Al Imaaroh bab Hukmu man Faraqa Amrul Muslimin wahua Mujtama’, no.3443
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

Barang siapa telah membai’at seirang imam, lalu memberikan hasil tangan (kesetiaan) dan buah hatinya maka memberilah jika mampu. Jika ada orang lain datang menentangnya maka bunuhlah yang kedua tersebut.
Diriwayatkan Imam Muslim dalam shohihnya kitab Al Imaaroh bab Wujubul Wafa’ Lil Kholifah Al Awal Fal Awal, no.3431.
Imam Nawawi rahimahullah mengomentari hadits ini dengan pernyataan beliau: “Makna hadits ini, tolaklah yang kedua, karena ia telah memberontak kepada imam. Jika tidak dapat dicegah kecuali dengan perang dan pembunuhan maka diperangi dan jika peperangan menuntut pembunuhannya maka boleh dibunuh”.
(Syarah Shohih Muslim karya Imam Nawawi 14/234).

3. Membelanya dengan pernyataan dan perbuatan, dengan harta dan jiwa secara lahir dan batin, sembunyi dan terang-terangan.
(Lihat Tahrir Al ahkam karya Ibnu Jumaah hal 63).
Semoga Allah memperbaiki dan menunjuki kaum muslimin dan pemimpin mereka kejalan yang diridhoi dan dibimbing kearah yang lurus. Demikian makalah ini dibuat mudah-mudahan bermanfaat.